Tidak Ada Yang Aman Dari Sifat Munafik, Kecuali Ia Munafik


Munafik adalah orang yang memiliki sifat nifak (kemunafikan). Kemunafikan sendiri ada dua macam yaitu nifak i’tiqodi dan nifak ‘amali.

1. Nifaq I'tiqod atau dalam Keyakinan,

Nifak i’tiqodi maksudnya adalah bentuk nifak dalam hati, di mana seseorang menampakkan keislaman namun menyembunyikan kekafiran.

Nifak bentuk pertama –nifak i’tiqodi- mengeluarkan seseorang dari Islam dan kemunafikan seperti ini akan membuat seseorang berada pada dasar neraka di bawah orang kafir, Yahudi dan Nashrani.

Sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin, yang menunjukkan bahayanya orang munafik. 

Dalam awal-awal surat Al Baqarah, disebutkan tiga golongan manusia.

Orang beriman disebutkan dalam empat ayat, orang kafir disebutkan dalam dua ayat, sedangkan orang munafik disebutkan dalam 13 ayat.

A. Contoh nifak i’tiqodi:

- Mendustakan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

- Mendustakan sebagian ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

- Benci pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

- Benci pada sebagian ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

- Senang melihat agama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam direndahkan.

- Tidak senang jika agama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan kemenangan.

Adakah sifat-sifat seperti itu di zaman modern saat ini yang ditampakkan oleh orang yang mengaku muslim?

Coba perhatikan sifat-sifat tersebut pada orang yang berpahaman liberal atau berada dalam Jaringan Islam Liberal. Wal ‘iyadzu billah, kita berlindung pada Allah dari kejelekan dan kesesatan mereka.

2. Munafik Lahiriyyah

Sedangkan nifak yang kedua adalah nifak ‘amali atau nifak ashgor (nifak kecil atau ringan) yang tidak mengeluarkan seseorang dari Islam. Karena bentuk nifak atau kemunafikan ini nampak dalam sifat lahiriyah dan tidak nampak pada batinnya. Seperti misalnya seseorang yang menampakkan dirinya shalih ketika berada di khalayak ramai. Namun ketika tidak berada di keramaian, ia jauh berbeda.

Oleh karena itu Al Hasan Al Bashri mengatakan,

مِنَ النِّفَاقِ اِخْتِلاَفُ القَلْبِ وَاللِّسَانِ ، وَاخْتِلاَفُ السِّرِّ وَالعَلاَنِيَّةِ ، وَاخْتِلاَفُ الدُّخُوْلِ وَالخُرُوْجِ

“Di antara tanda kemunafikan adalah berbeda antara hati dan lisan, berbeda antara sesuatu yang tersembunyi dan sesuatu yang nampak, berbeda antara yang masuk dan yang keluar.” 

📚 : [ Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 490 ]

Intinya sebagaimana kata Ibnu Rajab, kemunafikan ringan adalah adanya perbedaan antara yang nampak dan yang tersembunyi.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا ، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

“Ada empat tanda, jika seseorang memiliki empat tanda ini, maka ia disebut munafik tulen. Jika ia memiliki salah satu tandanya, maka dalam dirinya ada tanda kemunafikan sampai ia meninggalkan perilaku tersebut, yaitu: (1) jika diberi amanat, khianat; (2) jika berbicara, dusta; (3) jika membuat perjanjian, tidak dipenuhi; (4) jika berselisih, dia akan berbuat zalim.” 

📚 : [ HR. Muslim no. 58 ]

Itulah tanda munafik, beda antara yang lahir dan batin. Oleh karenanya sebagian ulama salaf mengatakan,

خُشُوْعُ النِّفَاقِ أَنْ تَرَى الجَسَدَ خَاشِعاً ، وَالقَلْبُ لَيْسَ بِخَاشِعٍ

“Khusyu’nya orang munafik, jasad terlihat khusyu’. Namun hati tak ada kekhusyu’an.” 

📚 : [ Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 490 ]

Umar pernah berkhutbah di atas mimbar, lantas ia mengatakan,

إنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ المنَافقُ العَلِيْمُ ، قَالُوْا : كَيْفَ يَكُوْنُ المنَافِقُ عَلِيماً ؟ قَالَ : يَتَكَلَّمُ بِالْحِكْمَةِ ، وَيَعْمَلُ باِلجَوْر ، أَوْ قَالَ : المنْكَرِ

“Yang aku khawatirkan pada kalian adalah orang berilmu yang munafik. Para sahabat lantas bertanya: “Bagaimana bisa ada orang berilmu yang munafik?” Umar menjawab, “Ia berkata perkataan hikmah, namun sayangnya ia melakukan kemungkaran.”

Hudzaifah ditanya mengenai apa itu munafik, ia menjawab,

الَّذِي يَصِفُ الإِيْمَانَ وَلاَ يَعْمَلُ بِهِ

“Ia menyifati diri beriman namun tak ada amalan.”

Dari sini, para ulama menyebutkan bahwa pria yang mengaku muslim namun tidak pernah terlihat shalat berjama’ah di masjid, dinyatakan sebagai munafik.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِى الصَّفِّ

“Aku telah melihat bahwa orang yang meninggalkan shalat jama’ah hanyalah orang munafik, di mana ia adalah munafik tulen. Karena bahayanya meninggalkan shalat jama’ah sedemikian adanya, ada seseorang sampai didatangkan dengan berpegangan pada dua orang sampai ia bisa masuk dalam shaf.” 

📚 : [ HR. Muslim no. 654 ]

Bahkan tetangga masjid yang tak pernah terlihat di masjid, juga disebut munafik. Ibrahim An Nakha’i rahimahullah mengatakan,

كَفَى عَلَماً عَلَى النِّفَاقِ أَنْ يَكُوْنَ الرَّجُلُ جَارَ المسْجِد ، لاَ يُرَى فِيْهِ

“Cukup disebut seseorang memiliki tanda munafik jika ia adalah tetangga masjid namun tak pernah terlihat di masjid” 

📚 : [ Fathul Bari karya Ibnu Rajab 5: 458 dan Ma’alimus Sunan 1: 160. Lihat Minhatul ‘Allam, 3: 365 ]

Lihat cerita Hanzhalah dan Abu Bakr berikut ini,

عَنْ حَنْظَلَةَ الأُسَيِّدِىِّ قَالَ – وَكَانَ مِنْ كُتَّابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ – لَقِيَنِى أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ كَيْفَ أَنْتَ يَا حَنْظَلَةُ قَالَ قُلْتُ نَافَقَ حَنْظَلَةُ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ مَا تَقُولُ قَالَ قُلْتُ نَكُونُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ حَتَّى كَأَنَّا رَأْىَ عَيْنٍ فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ وَالأَوْلاَدَ وَالضَّيْعَاتِ فَنَسِينَا كَثِيرًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ فَوَاللَّهِ إِنَّا لَنَلْقَى مِثْلَ هَذَا. فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قُلْتُ نَافَقَ حَنْظَلَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَمَا ذَاكَ ». قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ نَكُونُ عِنْدَكَ تُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ حَتَّى كَأَنَّا رَأْىَ عَيْنٍ فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِكَ عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ وَالأَوْلاَدَ وَالضَّيْعَاتِ نَسِينَا كَثِيرًا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ عِنْدِى وَفِى الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ وَفِى طُرُقِكُمْ وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ

Dari Hanzholah Al Usayyidiy -beliau adalah di antara juru tulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam-, ia berkata, “Abu Bakr pernah menemuiku, lalu ia berkata padaku, “Bagaimana keadaanmu wahai Hanzhalah?” Aku menjawab, “Hanzhalah kini telah jadi munafik.” Abu Bakr berkata, “Subhanallah, apa yang engkau katakan?” Aku menjawab, “Kami jika berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami teringat neraka dan surga sampai-sampai kami seperti melihatnya di hadapan kami. Namun ketika kami keluar dari majelis Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami bergaul dengan istri dan anak-anak kami, sibuk dengan berbagai urusan, kami pun jadi banyak lupa.” Abu Bakr pun menjawab, “Kami pun begitu.”

Kemudian aku dan Abu Bakr pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, jika kami berada di sisimu, kami akan selalu teringat pada neraka dan surga sampai-sampai seolah-olah surga dan neraka itu benar-benar nyata di depan kami. Namun jika kami meninggalkan majelismu, maka kami tersibukkan dengan istri, anak dan pekerjaan kami, sehingga kami pun banyak lupa.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, 

“Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya kalian mau kontinu dalam beramal sebagaimana keadaan kalian ketika berada di sisiku dan kalian terus mengingat-ingatnya, maka niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidurmu dan di jalan. Namun Hanzhalah, lakukanlah sesaat demi sesaat.” 

Beliau mengulanginya sampai tiga kali."

📚 : [ HR. Muslim no. 2750 ]

Mereka masih khawatir diri mereka munafik, padahal keduanya adalah sahabat yang mulia, bagaimana lagi dengan kita-kita.

Demikianlah sifat para sahabat, mereka takut tertimpa kemunafikan.

وقال ابنُ أبي مُلَيْكَة : أَدْرَكْتُ ثَلاَثِيْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ .

“Ibnu Abi Mulaikah pernah berkata: Aku telah mendapati 30 orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya khawatir pada dirinya tertimpa kemunafikan.” 

📚 : [ HR. Bukhari no. 36 ]

Ada perkataan dari Imam Ahmad,

وسُئِلَ الإمامُ أحمد : مَا تَقُوْلُ فِيْمَنْ لاَ يَخَافُ عَلَى نَفْسِهِ النِّفَاق ؟ فقال : وَمَنْ يَأمَنُ عَلَى نَفْسِهِ النِّفَاقَ ؟

Imam Ahmad pernah ditanya, “Apa yang kau katakana pada orang yang tidak khawatir pada dirinya kemunafikan?” Beliau menjawab, “Apa ada yang merasa aman dari sifat kemunafikan?”

Al Hasan Al Bashri sampai menyebut orang yang Nampak padanya sifat kemunafikan dari sisi amal (bukan i’tiqod atau keyakinan), maka ia disebut munafik. Sebagaimana ada perkataan Hudzaifah dalam hal itu. Seperti ada perkataan Asy Sya’bi semisal itu pula,

مَنْ كَذَبَ ، فَهُوَ مُنَافِقٌ

“Siapa yang berdusta, maka ia adalah munafik.” 

📚 : [ Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 493 ]

Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata,

مَا خَافَهُ إِلاَّ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ أَمَنَهُ إلِاَّ مُنَافِقٌ

“Orang yang khawatir terjatuh pada kemunafikan, itulah orang mukmin. Yang selalu merasa aman dari kemunafikan, itulah senyatanya munafik.”

📚 : [ Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 491 ]

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah. Semoga Allah menyelamatkan kita dari kemunafikan.

Sumber tulisan dan kutipan, kami ambil dari :

1. 📚 : [ At Tanbihaat Al Mukhtashoroh Syarh Al Wajibaat Al Mutahattimaat Al Ma’rifah ‘ala Kulli Muslimin wa Muslimatin, Ibrahim bin Asy Syaikh Shalih bin Ahmad Al Kharishiy, terbitan Darul Shumai’iy, cetakan kesepuluh, tahun 1425 H ]

2. 📚 : [ Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan kesepuluh, tahun 1432 H. ]

✍🏻 : Karawang, 11 Agustus 2024
🏷️ Saluran WhatsApp : Klik Disini
📱Grup WA : Klik Disini
📪 Telegram : Klik Disini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syaikh Abdullah Al-Bukhari; Parenting Muslim

Berhenti Belajar Agama Sebab Bekerja ?

MANHAJ KOKOH